
Oleh: M Arfan Mu’ammar
Perhatikan pikiranmu karena akan menjadi kata-kata. Perhatikan kata-katamu karena akan menjadi tindakanmu. Perhatikan tindakanmu karena akan menjadi kebiasaanmu. Perhatikan kebiasaanmu karena akan menjadi karaktermu. Perhatikan karaktermu karena akan menjadi takdirmu (Dr. Fakhruddin Faiz)
Mungkin kita sudah banyak mendengar tentang sebuah organisasi yang bernama Budi Utomo, sebuah organisasi yang didirikan oleh Dr. Soetomo dan para mahasiswa STOVIA yaitu Goenawan Mangoenkoesoemo dan Soeraji pada tanggal 20 Mei 1908 di Yogyakarta. Gerakan tersebut dibangun berasaskan keluhuran budi yang tinggi, karena negara yang maju adalah negara yang memiliki keluhuran budi yang tinggi, oleh sebab itu fokus utama budi utomo adalah keluhuran budi atau kalau dalam bahasa jawa disebut Budi yang Utomo (Keluhuran Budi yang Utama), atau lebih akrab dan lebih mudah disebut dengan Budi Utomo.
Jika kita melihat beberapa organisasi lainnya yang berdiri pada kisaran tahun 1900-1915 selain Budi Utomo yaitu seperti: Jami’at Al-Khair (perkumpulan kebajikan budi) berdiri pada 1901 dan Tri Koro Dharmo (tiga tujuan mulia: sakti, budi dan bakti) berdiri pada 07 Maret 1915, sepertinya pada tahun itu adalah masa-masa krisis budi luhur, sehingga banyak organisasi yang didirikan berbasiskan keluhuran budi. Krisis budi luhur yang terjadi pada masa itu mendorong beberapa kelompok untuk mendirikan berdirinya organisasi yang mendasarkan budi luhur sebagai pijakannya.
Saya rasa, berdirinya sebuah organisasi atau perkumpulan diawali dengan sebuah kegelisahan-kegelisahan sekolompok orang yang terjadi pada masa itu dan ingin melakukan perubahan melalui organisasi tersebut. Contohnya saja Muhammadiyah yang berdiri tahun 1926, organisasi yang memiliki semangat tajdid ini mendasari semangat pembaharuan (baca purifikasi) sebagai ruh organisasi, karena pada masa itu Ahmad Dahlan melihat betapa akidah umat Islam di Indonesia jauh dari ajaran Islam yang sesungguhnya.
Apa itu Budi Luhur atau Budi Pekerti itu?
Budi mengandung arti “pikiran, perasaan, dan kemauan”, pekerti artinya “tenaga”. Dengan demikian, “budi pekerti” itu sama dengan “budi daya” (disingkat jadi budaya). Sehingga pemaknaan budi pekerti adalah mengupayakan bersatunya pikiran, perasaan, dan tekad-kemauan manusia yang mendorong kekuatan tenaga yang dapat melahirkan penciptaan dan perbuatan yang baik, benar dan indah. (Yudi Latif)
Dengan kata lain, pendidikan budi pekerti adalah pendidikan yang berkebudayaan. Pendidikan dan kebudayaan merupakan proses kreatif yang tak dapat dipisahkan, ibarat dua sisi dari sebuah mata uang yang sama. Bung Hatta pernah menyatakan bahwa apa yang diajarkan dalam proses pendidikan adalah kebudayaan, sedangkan pendidikan itu sendiri adalah proses pembudayaan. Dengan pendidikan budi pekerti diharapkan bisa tumbuh manusia merdeka yang berbudaya dan beradab.
Ki Hadjar Dewantara mengatakan: “Dengan adanya budi pekerti itu tiap-tiap manusia berdiri sebagai manusia merdeka (berpribadi), yang dapat memerintah atau menguasai diri sendiri (mandiri, zelfbeheersching). Inilah manusia yang beradab dan itulah maksud dan tujuan pendidikan dalam garis besarnya” (Dewantara, 1977: 25).
Untuk menjadi seseorang yang berbudi pekerti atau berkarakter baik, Thomas Lickona mengungkapkan ada 9 nilai inti karakter pribadi yang harus ditumbuhkan: keberanian (courage), keadilan (justice), kebaikan hati (benevolence), rasa terima kasih (gratitude), kebijaksanaan (wisdom), mawas diri (reflection), rasa hormat (respect), tanggung jawab (responsibilty), dan pengendalian diri (temperance).
Sedangkan berbudi pekerti atau berkarakter baik dalam konteks warga negara, Jonathan Haidt (2012) mengungkapkan terdapat 6 nilai inti moral publik sebagai basis karakter kolektif kewargaan: peduli terhadap bahaya yang mengancam keselamatan bersama (care), rasa keadilan dan kepantasan (fairness), kebebasan dengan menjunjung tinggi hak-hak dasar manusia (liberty), kesetiaan pada institusi, tradisi dan konsensus bersama (loyalty), respek terhadap otoritas yang disepakati bersama (authority), menghormati nilai-nilai yang dipandang paling mulia (sancity).
Oleh sebab itu, budi pekerti menjadi inti utama dari sebuah pendidikan. Banyak sekali peradaban yang jaya kemudian hancur lebur tidak lain adalah karena kerusakan moralnya. Maka sudah saatnya budi pekerti menjadi sesuatu yang harus diutamakan, bukan hanya di lisan, tetapi lembaga pendidikan harus berani mengeksekusi penanaman budi pekerti menjadi prioritas utama, sebagaimana budi utomo yang menjadikan budi sebagai hal yang utomo (utama).