
Oleh : M. Arfan Mu’ammar
Indonesia memiliki sejarah panjang terkait evaluasi akhir dalam pembelajaran. Yang saat ini dikenal dengan UN (Ujian Nasional). Evaluasi akhir dalam pembelajaran pada awalnya dikenal dengan istilah Ujian Penghabisan (UP) 1950-1964. Soal ujian berbentuk essay. Semua mata pelajaran diujikan. Hasil ujian diperiksa langsung oleh negara. Pada tahun 1965-1972 Ujian Negara (UN) menggantikan Ujian Penghabisan (UP). Bentuk soal dan teknis penyelenggaraan tidak jauh berbeda dengan Ujian Penghabisan (UP).
Pada tahun 1972-1979 Ujian Nasional (UN) diganti menjadi Ujian Sekolah (US). Berbeda dengan UP dan UN. Dalam penyelenggaraan US, sekolah memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan ujian secara mandiri. Termasuk menyiapkan soal-soal ujian dan menentukan penilaiannya. Pemerintah pusat hanya menyediakan kebijakan umum tentang Ujian Sekolah.
Ujian Sekolah (US) kemudian diganti menjadi EBTANAS 1980-2000. Dalam hal ini, ada dua bentuk ujian akhir yang harus dijalani siswa, yaitu EBTANAS dan EBTA (Evaluasi Belajar Tahap Akhir). EBTANAS mengujikan beberapa pelajaran pokok. Sedangkan EBTA mengujikan berbagai mata pelajaran lainnya. Dalam pelaksanaan EBTANAS, sekolah berkoordinasi dengan pemerintah pusat. Sedangkan dalam pelaksanaan EBTA, sekolah berkoordinasi dengan pemerintah provinsi. Kelulusan siswa ditentukan oleh kombinasi hasil EBTA, EBTANAS dan nilai ujian harian pada rapor. Siswa dinyatakan lulus EBTANAS jika meraih nilai rata-rata untuk semua mata pelajaran yang diujikan minimal enam, meskipun salah satu dari mata pelajaran memiliki nilai di bawah tiga.
Namun, pada tahun 2001-2004 istilah EBTANAS diganti menjadi Ujian Akhir Nasional (UAN). Pemerintah pusat bertanggung jawab atas pembuatan soal ujian. Siswa yang tidak lulus UAN dapat mengikuti ujian ulang satu minggu setelah jadwal UAN utama. Standar kelulusannya mengalami banyak perubahan dari tahun ke tahun.
Pada tahun 2002. Standar kelulusan siswa adalah nilai minimal untuk setiap mata pelajaran. Sedangkan, standar kelulusan UAN pada tahun 2003 adalah nilai minimal 3,01 pada setiap mata pelajaran dan nilai rata-rata keseluruhan minimal 6,0. Akan tetapi pada tahun 2004, standar kelulusan UAN adalah nilai minimal 4,01 pada setiap mata pelajaran dan tidak ada nilai rata-rata minimal.
Pada tahun 2005. Istilah UAN diganti menjadi UN (Ujian Nasional). Standar kelulusan pada UN juga mengalami perubahan hampir disetiap tahunnya. Tahun 2005 nilai minimal 4,25 pada setiap mata pelajaran. Siswa dapat mengulang ujian hanya mata pelajaran yang tidak lulus.
Standar kelulusan UN 2006 sama. Yakni minimal 4,25 untuk tiap mata pelajaran. Selain itu, ada syarat nilai rata-rata yaitu lebih dari 4,50. Peserta yang tidak lulus UN tidak dapat mengikuti ujian ulang.
UN 2007, ada dua kriteria penilaian. Pertama, nilai rata-rata minimal untuk seluruh mata pelajaran adalah 5,00 dan siswa tidak boleh memiliki nilai di bawah 4,25. Kedua, jika nilai minimal 4,00 pada salah satu mata pelajaran yang diujikan, maka nilai pada dua mata pelajaran lainnya adalah 6.00. Sedangkan UN 2006, siswa yang tidak lulus tidak bisa mengambil ujian ulang. Tapi dapat mengambil Kelompok Belajar Paket C untuk meneruskan pendidikan atau mengulang UN tahun depan
UN 2008 mengujikan lebih banyak mata pelajaran. Pada tahun sebelumnya, hanya tiga mata pelajaran dan pada 2008, peserta UN harus mengikuti ujian pada enam mata pelajaran. Siswa dinyatakan lulus jika memiliki nilai rata-rata minimal 5,25 dan syarat lain seperti pada UN 2007. Standar kelulusan pada UN 2009 adalah siswa meraih nilai rata-rata minimal 5,50 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan. Selain itu, siswa paling banyak mendapat nilai minimal 4,00 pada dua mata pelajaran dan minimal 4.25 untuk mata pelajaran lainnya.
Sedangkan standar kelulusan pada UN 2010 adalah memiliki nilai rata-rata minimal 5,50 untuk semua mata pelajaran yang diujikan. Siswa paling banyak meraih nilai minimal 4.0 pada dua mata pelajaran dan minimal 4,25 untuk mata pelajaran lainnya. Peserta UN SMK harus meraih nilai mata pelajaran praktik kejuruan minimal 7,00. Nilai ini digunakan untuk menghitung rata-rata UN.
Sejarah panjang evaluasi akhir pembelajaran di Indonesia tersebut menyisakan beberapa pertanyaan. Jika diperhatikan. Nomenklatur yang sering digunakan dalam evaluasi pembelajaran tahap akhir, adalah kata “ujian”. Dari keenam perubahan nama tersebut, hanya EBTANAS saja yang menggunakan istilah “evaluasi”.
Ujian merupakan bentuk penilaian. Sedangkan penilaian adalah bagian dari “evaluasi”. Lantas, nomenklatur manakah yang lebih sesuai dan tepat digunakan? Evaluasi ataukah ujian?
Bersambung…
Be the first to comment