
Oleh: M Arfan Mu’ammar
Jika gadget yang dimiliki itu hanya digunakan untuk pembelajaran daring saja, Insyaallah tidak akan ada masalah. Akan tetapi fakta di lapangan, anak-anak lebih sering menggunakan gadget di luar waktu pembelajaran daring, seperti untuk melihat YouTube, Tik Tok, Instagram, Facebook dan sebagainya.
Pernahkan Anda para orangtua memperhatikan perubahan sikap pada anak sebelum sering menggunakan gadget dengan setelah sering menggunakan gadget? Atau melihat betapa kreativitas anak terpangkas ketika mereka sering bermain gadget?
Terlebih dahulu saya akan menyampaikan pengalaman pribadi, sebelum nanti akan saya sampaikan secara ilmiah bahwa memang gadget berdampak pada kreativitas dan sikap anak, khususnya pada emosinya.
Hampir sama dengan alasan sebagaian besar orangtua, saya membelikan gadget pada anak saya karena memang untuk kebutuhan pembelajaran daring, namun hanya anak pertama saja yang berusia 10 tahun, sedang anak kedua saya yang berusia 6 tahun saya beri pinjaman iPad atau gadget ibunya.
Setelah anak saya melakukan pembelajaran daring dan mengerjakan tugas-tugasnya, dia langsung berselancar di dunia maya, baik bermain game, melihat YouTube, dan sebagainya. Aktivitas itu saya abaikan saja, karena saya anggap itu bentuk istirahat dia dari rutinitas belajar harian. Perubahan sikap seperti mudah emosi tidak begitu terlihat, karena saya masih husnudzon bahwa dia sedang jenuh dengan pembelajaran daringnya.
Liburan pun telah tiba, akan tetapi kenapa perubahan sikap emosi juga tidak berubah? Suatu ketika dia melakukan kesalahan, lalu saya memberikan hukuman untuk tidak melihat gadget selama satu minggu. Istri saya mengambil gadget dan menyimpannya di tempat tersembunyi.
Dalam waktu satu minggu itu, kedua anak saya sepertinya bingung mau melakukan apa, karena selama pandemi ini mereka terbiasa bermain dengan gadgetnya masing-masing. Dalam kondisi tersebut, otak anak berputar untuk bagaimana bisa tetap bermain tanpa gadget selama satu minggu. Diambillah kertas, mereka menggambar dan mewarnai. Sudah bosan dengan menggambar dan mewarnai, diambillah sepeda, lalu bersepedalah keliling kompleks perumahan dengan riang, berhenti di fasum (fasilitas umum) milik perumahan, bermain papan seluncur, ayunan dan sebagainya. Sesekali mereka terlihat saling berkejaran dengan tertawa yang nyaring.
Sesampainya di rumah, mereka terlihat cukup bergembira, dengan peluh yang membasahi dahinya. Setelah cukup istirahat, mereka lalu bermain peran, dengan si kakak sebagai ibunya dan si adik sebagai anaknya, tidak lama anak tetangga ikut bergabung bermain. Setelah asyik bermain peran, mereka beralih untuk bermain air di tempat cuci tangan di depan rumah. Saking asyiknya, baju mereka hingga basah kuyup.
Tanpa gadget, mereka terus memutar otak untuk melakukan permainan-permainan kreatif. Emosi yang biasanya meluap-luap kembali terkontrol. Psikomotoriknya terlatih karena terus berkreasi. Fisiknya terus bergerak karena tubuhnya terus melakukan gerakan-gerakan. Sangat berbeda ketika mereka bermain gadget, tubuhnya diam terpaku di satu tempat dalam waktu berjam-jam, sangat tidak baik untuk pertumbuhan fisik anak-anak yang mestinya harus banyak gerak.
Memang, dampak permainan anak tersebut membuat rumah menjadi berantakan, kotor dan basah, akan tetapi itu adalah harga yang harus dibayar orangtua untuk menghindarkan anak dari bahaya negatif gadget. Bahkan dalam masa hukuman satu minggu tidak menggunakan gadget itu, saya rela untuk membelikan beberapa mainan untuk menunjang aktivitas bermain mereka. Yang menjadi ironi adalah ketika orangtua melarang anak bermain gadget, tetapi orangtua tidak memfasilitasi dengan permainan-permainan lain sebagai penggantinya. Atau ketika anak-anak sudah berusaha mencari mainan alakadarnya seperti bermain air, mereka tetap mendapat marah dari orangtuanya karena menjadikan rumah kotor dan basah. Akhirnya anak bingung dan serba salah, bermain gadget dimarahi, bermain selain gadget juga dimarahi.
Kalau bermain gadget memangkas kreativitas anak, memang sangat betul dan logis, sebagaimana yang saya jelaskan di atas. Akan tetapi, bagaimana bisa gadget dapat merubah sikap anak menjadi anak yang mudah emosi dan suka marah-marah bahkan melawan orangtua?
Rupanya secara medis hal itu dapat dijelaskan, dr. Adeline Jaclyn mengatakan bahwa terdapat tiga alasan kenapa terjadi perubahan emosi pada anak yang menggunakan gadget: pertama, anak yang kecanduan gadget menganggap bahwa panggilan atau perkataan orang lain hanya menjadi pengganggu atas dunianya. Sehingga, ia akan kesal dan mulai marah akan distraksi tersebut.
Kenapa orang lain termasuk orangtua disebut sebagai pengganggu? Karena anak tidak memiliki kemampuan dalam berinteraksi sosial. Sebab selama ini ia hanya terbiasa berinteraksi satu arah dengan gadgetnya.
Kedua, anak kecil yang terbiasa hidup dengan gadget akan mudah kesal bila apa yang diinginkannya tidak dipenuhi. Sebab, selama ini, apa yang diinginkannya bisa dengan mudah ia dapatkan lewat teknologi canggih yang ditawarkan di dalam gadget. Kecanggihan gadget memudahkan semua orang, termasuk anak-anak. Dalam sebuah permainan misalnya, anak dengan mudah dapat membuat makanan atau mendesain kamar sesuai dengan selera atau keinginannya dengan cepat dan mudah. Dia juga terbiasa melihat segala sesuatu yang serba menyenangkan di channel Youtube.
Apa dampaknya? ketika kembali berhadapan dunia nyata, anak menjadi kurang bisa menerima kenyataan bahwa apa yang ditampilkan dalam dunia nyata itu tidak seindah apa yang ada di dalam gadget. Apalagi anak-anak belum bisa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di balik konten media sosial, belum bisa membedakan mana yang palsu dan mana yang asli. Sehingga, bukan mustahil anak akan menjadi pribadi yang penuntut dan terlalu perfeksionis di kemudian hari.
Ketiga, anak yang kecanduan gadget bisa mengalami gangguan mood, menghilangkan sifat empati, serta anak menjadi agresif, kurang peka, mudah berbohong, dan pendiam. Rata-rata anak yang berinteraksi dengan gadget lebih dari satu jam menunjukkan sifat yang lebih agresif dibanding anak-anak lain seusianya. Sedangkan, bila sejak dini anak sudah terpapar tontonan yang mengandung unsur kekerasan di dalamnya, mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang tidak berempati.
Memang penggunaan gadget dapat memudahkan komunikasi antara orangtua dengan anak ketika dalam keadaan berjauhan dan juga membantu pembelajaran daring di era pandemi ini yang masih tidak memungkinkan melakukan tatap muka. Akan tetapi jika anak masih terlalu kecil, maka orangtua wajib membatasi penggunaan dan gadget pada anak dan orangtua juga wajib melakukan pengawasan.
Untuk mengatasi hal itu, maka orangtua wajib membuat jadwal penggunaan gadget bagi anak, misalkan hanya pada haru sabtu dan ahad saja anak dibolehkan melihat gadget, itupun juga harus dibatasi waktu, jika tidak maka anak akan melakukan balas dendam, artinya anak merasa pada hari senin-jumat tidak bisa melihat gadget, lalu melakukan balas dendam dengan melihat gadget sepuas-puasnya pada hari sabtu dan ahad, tentu itu juga tidak baik bagi anak. Jadi walupun hari sabtu dan ahad dibolehkan, tetapi tetap menggunakan batasan waktu.
Jangan sampai perasaan kasihan orangtua pada anaknya karena tidak diberi gadget malah berdampak negatif pada anak, yang ujung-ujungnya adalah penyesalan orangtua. Keengganan orangtua memberikan gadget pada anak adalah bentuk kasih sayang, sedang kelonggaran orangtua memberikan waktu kepada anak adalah bentuk ketidaksayangan. Yakinlah bahwa tanpa memegang gadget atau pembatasan gadget tidak akan membuat mereka gaptek atau tidak akan membuat mereka ketinggalan zaman. Terlalu banyak dampak negatif yang diterima anak jika sering menggunakan gadget, dalam kaidah usuliyah dijelaskan “dar’ul mafasid muqoddamun ala jalbil masholih” meninggalkan kerusakan lebih diutamakan dibanding melakukan kebaikan. Meninggalkan gadget (sebab unsur negatifnya) lebih diutamakan daripada menggunakan gadget (sebab unsur kemanfaatannya).