
Oleh : M. Arfan Mu’ammar
Kekerasan simbolik merupakan kekerasan non-fisik dan non-psikis. Jika kekerasan fisik dan psikis dapat mudah dikenali, kekerasan simbolik justru sangat sulit dikenali. Bukan saja sulit dikenali, kekerasan simbolik (symbolic violence) seringkali dianggap sebuah gejala yang wajar, karena mereka (para siswa) menerima begitu saja dan lapang dada, mereka seakan bersedia menempatkan diri sebagai korban dan memposisikan diri sebagai objek serta korban kekerasan.
Istilah symbolic violence dipopulerkan oleh Pierre Bourdieu seorang sosiolog dari Perancis. Dalam bukunya Distinction, Bourdie mengungkapkan beberapa gagasan penting diantaranya adalah modal, habitus, kekuasaan dan kekerasan simbolik.
Diantara empat gagasan besarnya di atas, saya akan mengulas gagasan Bourdieu pada habitus dan kekerasan simbolik (symbolic violence). Pierre Bourdieu mengungkapkan bahwa kekerasan simbolik dilakukan dengan mekanisme “penyembunyian kekerasan” yang dimiliki menjadi sesuatu yang diterima sebagai “yang memang seharusnya demikian”. Proses ini menurut Bourdieu dapat dicapai melalui proses inkalkulasi atau proses penanaman yang berlangsung secara terus menerus.
Kekerasan simbolik dapat dilakukan melalui dua cara. Pertama eufemisme. Eufemisme biasanya membuat kekerasan simbolik menjadi tidak nampak, bekerja secara halus, tidak dapat dikenali dan dapat dipilih secara “tidak sadar”. Bentuk eufemisme dapat berupa kepercayaan, kewajiban, kesetiaan, sopan santun, pemberian, utang, pahala atau belas kasihan. Kedua, mekanisme sensorisasi yang menjadikan kekerasan simbolik nampak sebagai bentuk sebuah pelestarian semua bentuk nilai yang dianggap sebagai “moral kehormatan”, seperti : kesantunan, kesucian dan kedermawanan. Serta yang biasanya dipertentangkan yaitu “moral rendah”, seperti : kekerasan, kriminal, ketidakpantasan, asusila, kerakusan dan sebagainya.
Ada ungkapan Buya Hamka yang cukup menarik “Dan, benar. Memang pikiran melahirkan ucapan. Ucapan melahirkan tindakan. Tindakan melahirkan kebiasaan. Kebiasaan melahirkan karakter. Dan karakter menentukan takdir kita”.
Bagi saya, pikiran yang ditulis kemudian dibaca oleh banyak orang, juga akan merubah tindakan. Tindakan-tindakan ini akan dapat dikondisikan hanya dengan tulisan. Tulisan-tulisan inilah yang kemudian melahirkan perubahan pola pikir dan tindakan. Salah satu tulisan yang wajib dibaca oleh siswa di sekolah adalah buku ajar. Buku ajar yang ditentukan oleh sekolah itulah nantinya akan membentuk pola pikir dan tindakan.
Oleh siapa buku ajar ditulis? dengan tujuan apa buku ajar itu ditulis? ada kepentingan apa dibalik ditulisnya buku ajar di sekolah? Kesemuanya akan menentukan kearah mana pola pikir dan karakter anak akan dikondisikan. “Pengkondisian” yang sistematik oleh orang-orang dibalik penentu kebijakan inilah yang akan dikuak secara habis oleh Bourdieu.
Ada penelitian yang cukup menarik terkait buku ajar di sekolah dan kekerasan simbolik. Penelitian yang menguak betapa buku ajar di sekolah, khususnya buku ajar yang diprogramkan pemerintah yaitu Buku Sekolah Elektronik (BSE) mengandung banyak sekali bentuk kekerasan simbolik.
Saking sistematisnya, para guru dan siswa tidak menyadari akan adanya hal tersebut. Bahkan mungkin juga anda. Lantas apa saja bentuk kekerasan simbolik di BSE?
Bersambung…
Be the first to comment