
Oleh : M. Arfan Mu’ammar
Dalam konteks pendidikan. Kesadaran kolektif setidaknya memiliki dua pemahaman. Kesadaran kritis (critical consciousness) dan kesadaran ilmiah (scientific consciousness)
Salah satu tokoh yang membahas tentang kesadaran kritis (critical consciousness) adalah Paulo Freire (1921-1997), perintis pedagogi kritis. Freire menulis buku berjudul Education for The Critical Consciousness. Kesadaran yang dibangun Freire bukanlah dalam konteks kesadaran bahwa ilmu itu penting, kesadaran bahwa membaca itu kebutuhan, kesadaran bahwa pendidikan itu sebuah keharusan. Akan tetapi, kesadaran yang dibangun Freire adalah kesadaran bahwa pendidikan itu menindas, kesadaran bahwa pendidikan itu sebuah komoditas, kesadaran bahwa pembelajaran di sekolah itu tidak humanis.
Untuk membangun kesadaran bahwa pendidikan itu menindas, Freire menulis Pedagogy of the Oppressed (1968). Ketertindasan itu bukan hanya karena pendidikan dijadikan sebagai komoditi, namun ketertindasan itu juga terjadi dalam praktek pembelajaran. Proses pembelajaran hanya sekedar transfer of knowledge, aspek afektif dan psikomotorik diabaikan. Karena itu Freire menyebutnya sebagai banking concept of education. Guru aktif, sedang siswa passive and obedience. Guru sebagai depositor dan siswa sebagai deposit.
Pembelajaran semacam itu merupakan bentuk ketertindasan murid oleh sistem yang dinamakan sekolah. Sederhananya, sekolah bukan pabrik dan siswa bukan barang produksinya. Sekolah bukan warung dan orang tua siswa bukan pelanggannya.
Untuk menghindari model pembelajaran banking concept of education, maka sistem pembelajaran TCL (Teacher Centered Learning) dirubah menjadi sistem pembelajaran SCL (Student Centered Learning). TCL pusat pembelajaran terpusat pada guru, guru sebagai sumber informasi utama. SCL pusat pembelajaran terpusat pada siswa, guru hanya sebagai fasilitator, guru bukanlah satu-satunya sumber belajar, siswa didorong untuk kreatif mengembangkan dirinya melalui proyek dan penugasan.
Kesadaran siswa dan guru terhadap ketertindasan dalam sistem pembelajaran mulai tumbuh. Design pembelajaran dan kurikulum sudah perlahan meninggalkan TCL dan beralih ke SCL. Guru tidak lagi menjadi pusat dan satu-satunya sumber informasi. Guru sebagai fasilitator dan murid tidak lagi pasif.
Namun, kesadaran yang belum juga terbangun adalah kesadaran bahwa pendidikan adalah sebuah komoditas. Kompetisi-kompetisi yang diikuti siswa pada dasarnya adalah untuk menaikkan rangking sekolah. Ketika rangking sekolah naik, tentunya akan banyak siswa yang mendaftar. Ketika siswa banyak yang mendaftar, maka sudah dapat dipastikan akan semakin banyak pundi-pundi yang dikumpulkan. Pada akhirnya adalah UUD (Ujung Ujuangnya Duit).
Apakah praktik pendidikan bertujuan memenangkan lomba-lomba dan kompetisi-kompetisi? Apa guna, manfaat dan kontribusi medali-medali olimpiade tersebut bagi pendidikan di Indonesia selain rasa bangga dan meningkatkan citra sekolah?
Bersambung…
BACA JUGA – Jangan Silau Dengan Prestasi Sekolah !
Be the first to comment