Kesadaran Kolektif (3)

Oleh : M. Arfan Mu’ammar

Banyak sekolah masih berfikiran bahwa dengan memenangkan banyak lomba, kompetisi serta medali-medali olimpiade sudah cukup berkontribusi terhadap kemajuan pendidikan Indonesia atau sudah memantaskan diri sebagai sekolah favorit yang bermutu. Orang tua bangga bisa menyekolahkan anaknya di sekolah itu dan siswapun bangga bisa masuk di sekolah tersebut.

Makna kebanggaan yang ditanamkan dalam benak kesadaran mereka adalah menang olimpiade, menang kompetisi ilmiah dan sebagainya. Bukan kebanggaan karena dapat memberi kontribusi bagi daerah dan masyarakat sekitar. Makna kesuksesan bagi mereka adalah ketika mendapat peringkat pertama, mengalahkan yang lain, akhirnya bisa masuk kuliah di kampus bergengsi, atau bahkan ke luar negeri, dan setelah lulus bercita-cita menjadi orang kantoran yang bekerja untuk dirinya sendiri. Siswa yang hanya bekerja sebagai guru TPQ atau sekedar menjadi guru ngaji di mushola-mushola kecil bukanlah orang yang masuk kategori sukses.

Kesadaran akan hal itu adalah kesadaran palsu (false consciousness). Imam Zarkasyi pernah mengatakan “Jadilah kalian orang besar, orang besar bukanlah orang yang memiliki pangkat yang tinggi, harta yang melimpah, atau ilmu yang luas dikenal orang di mana-mana, akan tetapi orang yang ikhlash mengajar ngaji walau di surau kecil di daerah terpencil”.

Ketika Indonesia setiap tahun selalu berhasil menjuarai olimpiade-olimpiade internasional, berhasil meraih medali emas, perak dan perunggu. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah kenapa prestasi-prestasi itu tidak berdampak pada masyarakat kita? Kenapa pendidikan negara kita masih saja terpuruk? Kenapa masyarakat kita masih saja banyak yang buta aksara (illiteracy)? menurut data statistik, provinsi dengan jumlah aksara paling tinggi adalah Papua, saya ambil pada usia produktif yaitu 15-44 tahun mencapai 28.21%. Sedang pada usia 45+ mencapai 31.41%. (Badan Pusat Statistik).

Bagaimana efek prestasi dan medali-medali  pada kenyataan dan fakta di atas? Bisa jadi, blow up  berita mengenai prestasi menang kompetisi di banyak media massa lebih dari sekadar memberitakan “kabar baik” yang ditujukan untuk menutupi realitas pendidikan di Indonesia yang “rusak-rusakan” dan jauh dari kualitas (Dharmaningtyas 2005).

Maka perlu diajukan pertanyaan, buat apa hafal al-Qur’an dan hafal ribuan hadith, menang dalam berbagai macam kompetisi tahfid al-Qur’an, tetapi tetangga kita merintih kelaparan, acuh terhadap tetangga yang buta aksara terhadap al-Qur’an. Sama halnya dengan buat apa sekolah memiliki peringkat dan capaiannya setinggi langit, piala olimpiade berjejer, akan tetapi masyarakat sekitar sekolah masih ada yang buta aksara, anak-anak sekitar sekolah tak mampu bersekolah karena biaya yang melangit, anak-anak sekitar sekolah harus berjalan setiap hari menempuh puluhan kilometer untuk bersekolah di tempat yang cukup jauh (mencari yang murah), padahal di depan rumahnya ada sekolah (tapi biaya tidak terjangkau).

Tujuan pendidikan bukan hanya untuk mengejar rangking, apapun itu. Melainkan untuk melakukan perubahan personal dan sosial ke arah yang lebih baik. Bukankah pada ujung-ujungnya ilmu itu mesti berguna, bermanfaat dan bermakna untuk kehidupan? bukan hanya sekedar untuk pamer peringkat.

Bersambung…

Rumah Pendidikan
About Rumah Pendidikan 837 Articles
RAPIDO adalah Rumah Pendidikan Indonesia. Website ini adalah rumah bagi seluruh masalah pendidikan di Indonesia untuk didialogkan dan didiskusikan. Karenanya website ini bukan hanya media guru dalam mengaspirasikan permasalahannya, akan tetapi media bagi pemegang kebijakan (pemerintah) dalam mengambil setiap kebijakannya.

1 Trackback / Pingback

  1. Sekolah & Relasi Komunikasi – Rumah Pendidikan

Leave a Reply

Your email address will not be published.