
Oleh: M Arfan Mu’ammar
Di tulisan sebelumnya saya menjelaskan betapa kurikulum harus terus berubah, karena setiap generasi memiliki karakteristik yang sangat berbeda dan tidak bisa didekati dengan pola pendidikan yang sama.
Sebelum saya lanjutkan tulisan ini, mari kita mengkaji lebih dalam makna dari kurikulum itu apa. Ada banyak sekali definisi kurikulum, mulai dari John Dewey, Levey, Hutchins, Bestor A, Phenix PH, Silverius, Apple dan Franklin.
Dari sekian banyak definisi, saya ambilkan dari definisi Levey. Levey mendefiniskan kurikulum sebagai: planned and unplanned (hidden) curriculum technical and practical learning. Atau dalam school dictionary 3 dijelaskan bahwa kurikulum merupakan all the course of study offered at a school, college, or university.
Ada kata kunci yang bisa diambil dari dua definisi di atas, yang pertama adalah planned and unplanned, suatu yang sudah terencana, terukur, tersistematis dan tertulis atau sesuatu yang sebaliknya, yang dikenal juga dengan hidden curriculum.
Sedang kata kunci kedua adalah all the course of study, semua rangkaian pelajaran yang ada di sekolah atau universitas. Di situ ada kata rangkaian pelajaran, bukan hanya pelajaran. Artinya cara atau metode menyampaikan pelajaran juga termasuk kurikulum, karena ia bagian dari rangkaian pelajaran, atau lebih mudahnya kita sebut proses pembelajaran.
Artinya, metode pembelajaran, media pembelajaran, sarana dan prasarana pembelajaran, materi ajar, bahan ajar, pengajar atau pendidik, lingkungan yang dibentuk, semuanya adalah kurikulum.
Dalam bahasa mudahnya adalah apa yang dilihat dan dirasakan siswa atau mahasiswa di sekolah dan universitas adalah bagian dari rangkaian kurikulum. Kalau ia tertulis, terukur dan sistematis maka ia disebut planned curriculum, tapi jika ia tidak tertulis, tetapi ia juga berkontribusi memberikan pelajaran dan pembelajaran kepada siswa, maka ia disebut hidden curriculum.
Bolehlah metode pembelajaran berubah, media pembelajaran mengikuti perkembangan zaman, sarana prasarana terus berkembang, materi ajar dan bahan ajar terus diupdate, lingkungan terus mengadaptasi, pendidik terus ditingkatkan kualitasnya. Tapi ada sesuatu yang tidak pernah berubah, dari dahulu hingga sekarang, apakah itu?
Itu adalah “nilai”.
Setiap lembaga memiliki misi penanaman nilai, dan nilai itu cenderung abadi dari dahulu hingga sekarang. Misalkan sekolah atau lembaga pendidikan ingin menananmkan nilai kejujuran. Saya kira dari dahulu hingga sekarang, nilai kejujuran ya tetap sama. Tidak mungkin jika 20 tahun lalu yang ditanamkan nilai kejujuran, sedang saat ini nilai yang ditanamkan adalah nilai ketidakjujuran. Ya tetap saja kejujuran, hanya saja bagaimana cara penanamannya itu yang berkembang dari masa ke masa.
Seperti lembaga pendidikan yang katanya dari dahulu hingga sekarang kurikulumnya tidak pernah berubah-ubah, buku-bukunya bisa diwariskan ke adik-adiknya, seperti yang saya ceritakan di atas, ternyata juga tidak semuanya tetap. Contohnya saja terkait penanaman disiplin. Memang nilai disiplin itu tetap seperti itu sejak dahulu hingga sekarang, namun cara penanaman ke santrinya itu yang mengalami perubahan.
Saya kebetulan mengalami sendiri proses pergeseran itu. Kalau dahulu untuk menegakkan disiplin, pemukulan dengan rotan, tamparan di wajah itu biasa. Ukuran rotan yang kecil hingga besar sudah pernah saya rasakan mendarat di kaki dan punggung saya. Tamparan tangan bagian keamanan dan pengasuhan sudah biasa saya rasakan.
Tetapi penegakan disiplin dengan cara itu, di awal tahun 2000 sudah mulai dirubah. Tidak ada lagi pukulan. Tidak ada lagi tamparan. Bagaimana disiplin bisa jalan tanpa ada punishment?.
Mulailah dilakukan banyak inovasi punishment dari pukulan ke hal-hal yang lain. Sehingga dibentuklah semacam “buku hitam”. Buku itu merekap seluruh bentuk pelanggaran dan ketidakdisiplinan santri. Dan catatan itu akan sangat berpengaruh terhadap kenaikan kelas santri.
Itu adalah salah satu contoh, bagaimana nilai yang “sama”, ditanamkan dengan metode yang berbeda, dengan tingkat keefektifan yang sama, bahkan lebih baik.
Dari rangkaian pelajaran yang diberikan kepada murid, unsur nilailah yang tidak berubah, sedang aspek yang lain seperti: metode pembelajaran, media pembelajaran, sarana dan prasarana pembelajaran, materi ajar, bahan ajar, pengajar atau pendidik, selalu dinamis dan berubah mengikuti perkembangan zaman.
Kalaupun sama, itu hanya pada mata pelajaran tertentu dan pada jenjang tertentu, seperti mata pelajaran bahasa, mata pelajaran fiqih, mata pelajaran sejarah dan sebagainya. Karena sebagian materi isinya tetap, khususnya pada tingkat sekolah dasar dan menengah.
Sedang di tingkat universitas, materinya cenderung harus terus berkembang, misalkan pada mata kuliah fiqih, ada fiqih kontemporer, yang harus mampu menjawab berbagai persoalan kontemporer yang terus berubah. Mata kuliah bahasa, juga terus berkembang, ada mata kuliah linguistik dasar, linguistik lanjut dan sebagainya. Demikian juga sejarah, pada tingkatan perguruan tinggi sudah tidak lagi mengkaji sejarah pada umumnya, tapi bagaimana sejarah pada umumnya dikaji dalam perspektif kalangan ilmuan revisionis.
Namun sangat disayangkan, jika pergantian kurikulum di hampir setiap pergantian menteri, semangatnya bukan dalam rangka mengakomodir perubahan zaman, bukan pula dalam rangka penyesuaian karakter anak didik yang terus berubah di setiap zaman. Akan tetapi semangat pergantiannya hanya untuk UUD, alias “Ujung-Ujungnya Duit”.
Juga ada kesan bahwa, jika kementrian tidak melakukan perubahan apapun pada masa jabatannya, maka terkesan tidak ada inovasi dan tidak bekerja. Padahal kebijakan sebelumnya belum betul-betul terimplementasi dengan baik. Baru jalan setengah sudah dirubah lagi, kemudian diganti kebijakan baru. Kebijakan-kebijakan antar masa jabatan kementrian semestinya saling berkesenimbangan, saling meneruskan. Bukan asal mengganti demi meraup keuntungan pribadi.