Lulus Tercepat, Mahasiswa Bidikmisi ITS Ingin Jadi Profesor

SURABAYA – Di tembok ruang tamu sebuah rumah di Sungonlegowo, Gresik, terpajang foto seorang bocah dengan tulisan KH Moh. Mualliful Ilmi di bawahnya. Tak jauh dari foto itu, tergantung sebuah lukisan dengan tulisan salah satu Partai Politik Islam di Indonesia. Namun rumah tersebut bukan markas partai politik, melainkan tempat tinggal Mualliful Ilmi, mahasiswa Departemen Kimia Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS).

Foto dan lukisan di atas merupakan kepingan bukti mimpi lugu Ilmi, sapaan akrabnya. Namun siapa sangka, impian lugu itu berhasil mendorongnya meraih berbagai pencapaian dalam waktu yang singkat, yakni 3,5 tahun. Selama masih menjadi mahasiswa ITS, nama Ilmi telah familier di berbagai pemberitaan terkait prestasinya di bidang keilmiahan serta kiprahnya sebagai Ketua Himpunan (Kahima) Departemen Teknik Kimia.

Lelaki tinggi besar ini mengungkapkan semua prestasinya tak lepas dari pengaruh lingkungan. Sejak kecil, Ilmi dibesarkan di lingkungan sekolah yang berbasis agama. Pakdhe (paman, red) Ilmi merupakan seorang kiai lulusan pesantren dan sering memberi ibrah serta teladan yang baik untuknya.

Hal itu membuat Ilmi kecil ingin sekali mengikuti jejak pakdhe-nya sebagai pendakwah. “Juga, karena saya percaya syiar Islamiyah sebagai salah satu kewajiban. Dan politik bisa jadi salah satu medianya,” tambahnya. Karena itulah dia memiliki cita-cita menjadi kiai dan juga mendirikan partai politik.

Akan tetapi, pakdhe-nya memiliki pendapat yang berbeda. Pakdhe Ilmi menasehatinya kalau untuk berdakwah tidak harus jadi kiai dulu. “Kamu bisa jadi pendakwah dalam jalur lain, yakni menjadi intelektual di bidang sains. Kalau bisa malah jadi profesor,” ia menirukan nasihat pakdhe-nya.

Nasehat itulah yang membuat Ilmi kecil mulai melirik bidang sains hingga membuatnya sekarang bermimpi menjadi profesor. Menurut Ilmi, profesor sebenarnya tak jauh beda dengan kiyai. Profesor dan kiai bukan sekedar jabatan, namun peran dengan tuntutan moral yang sama. “Yakni untuk berbagi, berdakwah dan membuat perubahan menuju kesejahteraan di lingkungan sekitar,” jelasnya.

Hal itu ia terapkan ketika menjadi mahasiswa Departemen Kimia ITS. Dalam penelitian dan karya tulis yang dia buat, Ilmi selalu berpedoman kepada kesejahteraan umat manusia dan permasalahan di sekelilingnya. Misalnya penelitiannya tentang material orthopedi berbasis magnesium yang berhasil mengantongi juara pertama dalam ajang Indonesian Youth Conference on Sustainable Development (IYCSD) 2017 di Yogyakarta, September tahun lalu.

Ide tersebut muncul dari pengalamannya ketika mengalami operasi patah tulang. Operasi tersebut mengharuskan tulangnya dipasang implan dan membutuhkan biaya besar untuk mengambilnya. “Akhirnya saya bermimpi membuat material baru yang terjangkau dan juga ramah lingkungan,” jelasnya.
Begitu pula penelitiannya terkait pembuatan absorben zat pencemar air dari bahan dasar eceng gondok. Penelitian ini muncul dari kegelisahaan ilmi akan kualitas air di Indonesia yang menurun akibat pencemaran zat pengotor air seperti logam berat maupun senyawa pewarna.

“Seperti kita tahu, enceng gondok bisa menjadi penyerap zat pencemar dalam air. Namun ia seringkali menimbulkan masalah jika jumlahnya terlalu banyak. Jadi dengan memanfaatkan enceng gondok untuk absorben zat pencemar air, penelitian saya bisa menyelesaikan dua permasalahan sekaligus,” jelasnya penuh semangat.

Ia juga tertarik penelitian yang berhubungan dengan Islam, misalnya penelitiannya tentang bahan halal pengganti gelatin pada kapsul obat. Selama ini, gelatin digunakan sebagai bahan pembuat kapsul obat. Akan tetapi, gelatin biasanya dibuat dari lemak babi, hewan yang diharamkan untuk umat muslim.

Untuk itu dia menggunakan selulosa nanokristalin sebagai pengganti gelatin. Tak hanya itu, dia juga membubuhkan teknologi drug release control yang memungkinkan obat dapat dilepaskan dalam tubuh sesuai dengan jadwal. Penelitian ini juga berhasil membuatnya jadi jawara di Lomba Karya Tulis Al Quran yang diselenggarakan oleh JN UKMI UNS, Surakarta 2017 lalu.

Tingginya produktivitas Ilmi dalam karya tulis ilmiah juga didukung oleh kegemarannya membaca buku. Bahkan, Ilmi mengaku bahwa ia merupakan maniak buku. Setidaknya 1800 buku berderet di ruang tamu Ilmi dengan berbagai genre. Tak sekadar buku tentang Islam atau sains, Ilmi juga memiliki banyak buku liberal karya filsuf Barat, salah satunya buku karya Emil Durkheim.

“Jutaan Rupiah saya habiskan untuk membeli buku, dan setiap dapat uang baik beasiswa maupun selesai diundang tilawah saya rupakan buku,” jelasnya. Ilmi juga memanfaatkan teknologi untuk memenuhi hasratnya akan pengetahuan baru. Ia rajin membaca via website penyedia berita terbaru, seperti kompas.com, republika.co.id, serta tak ketinggalan website favoritnya: bbcnature.com.

BACA JUGA – Barunastra, Jawara Kapal Tanpa Awak Milik ITS

Kehausannya akan ilmu pengetahuan tersebut membuat anak pertama dari dua bersaudara ini berhasil menyelesaikan tiga buku. Diantaranya dua buku tentang ilmu tajwid dasar dan satu buku tentang ilmu nahwu. Tak lupa, ia juga telah berhasil mempublikasikan satu jurnal terindeks Thomson Routers di Malaysian Journal of Fundamental and Applied Science (MJFAS) di Universiti Teknologi Malaysia (UTM).

Akan tetapi, meskipun ia seorang peneliti dan kutu buku, Ilmi tidak pernah melupakan mimpi masa kecilnya untuk menggeluti politik. Buktinya, ia punya sederet pengalaman organisasi. Misalnya saja ia pernah menjadi anggota OSIS di masa SMP dan SMA-nya.

Selain itu, ia juga pernah menjadi Kepala Perpustakaan hingga Ketua Tim Imam Masjid MAN Insan Cendekia, tempat ia menghabiskan masa SMA-nya. Puncak organisasinya ia raih di ITS, ketika Ilmi terpilih sebagai Ketua Himpunan Mahasiswa Kimia (HIMKA) ITS periode 2016-2017.

Banyaknya kegiatan penelitian dan prestasi yang digelutinya tidak seketika membuyarkan fokusnya sebagai mahasiswa. Buktinya, Ilmi berhasil menyelesaikan gelar sarjananya hanya dalam kurun waktu 3,5 tahun. Capaian tersebut tidak ia peroleh dengan mudah, mengingat kesibukannya.

Berbagai strategi ia terapkan, diantaranya dengan menyelesaikan tanggungan mata kuliah sejak semester 6. Ia juga harus menghemat waktu belajar. “Strategi saya belajar adalah dimaksimalkan di kelas, setiap pertanyaan langsung ditanyakan saat itu juga ke dosen,” terangnya.

Karena strategi dan konsistensinya, ia tak hanya berhasil lulus lebih dulu dari teman-temannya. Ia juga berhasil meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) tertinggi program Bidikmisi sekaligus masuk dalam tiga besar peraih IPK tertinggi di departemennya.

Melihat ke belakang, Ilmi mengaku bahwa semua pencapaiannya hanyalah buah dari apa yang ditanamkan pakdhe dan lingkungan kepadanya sejak kecil. Yakni dengan berusaha menjadi orang yang bermanfaat.

Untuk itu, entah menjadi profesor ataupun pemimpin umat seperti cita-cita masa kecilnya, ia selalu memegang prinsip yang sama. “Berusahalah untuk menjadi orang yang bermanfaat dengan terus memberi, maka manis buahnya akan kembali padamu suatu saat,” pungkasnya. (red)

Rumah Pendidikan
About Rumah Pendidikan 546 Articles
RAPIDO adalah Rumah Pendidikan Indonesia. Website ini adalah rumah bagi seluruh masalah pendidikan di Indonesia untuk didialogkan dan didiskusikan. Karenanya website ini bukan hanya media guru dalam mengaspirasikan permasalahannya, akan tetapi media bagi pemegang kebijakan (pemerintah) dalam mengambil setiap kebijakannya.

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.