
Oleh : Charis Hidayat
Menulis itu bukan perkara bakat atau hobi, juga bukan antara biasa-tidak biasa, dan bukan pula berbicara tentang status pendidikan. Menulis sesungguhnya adalah tentang kemauan serta konsistensi. Tradisi menulis, sedianya memang sudah ditanamkan sejak dini.
Siapa sangka, bahwa seorang perempuan yang masih duduk di bangku SMA, disebuah kota, Di timur pulau jawa. Mampu menghebohkan dunia jagat maya, dengan tulisan-tulisan ajakan perdamaian. Bahkan, menurut berita berkat tulisan-tulisannya, dirinya mendapat undangan ke berbagai acara. Tetap saja, tulisan yang ditulis dengan niat baik sekalipun, akan selalu mendapatkan sanjungan dan cacian sama banyaknya. Namun, itu semuanya tak menyurutkan niatnya, untuk terus menebar kebaikan lewat kekuatan kata-kata rangkaianya.
Kegiatan menulis akan terasa kesempurnaanya, dengan dibarengi konsumsi bacaan-bacaan bergizi. Membaca-menulis menjadi rangkaian tak terpisahkan, semua orang tentunya bisa membaca, namun, tak semua orang mampu untuk menuliskan apa yang sudah dibacanya. Kemauan seseorang untuk membaca, biasanya akan mendorong seseorang untuk menulis. Hal ini juga, banyak diterapkan oleh beberapa penulis ternama, sebut saja Hernowo dengan Konsep Free Writing-nya, Ngainun Naim dengan The Power Of Reading-nya, dan Muh. Khoiri dengan Multiple Project Writing-nya.
Menulis itu memang melelahkan, melebihi lelahnya seseorang saat berlari. Sangat wajar, saat menulis hampir seluruh anggota tubuh dilibatkan. Mulai ujung kepala hingga jari-jari tangan. Hal inilah, menjadi alasan banyak orang, kenapa kegiatan ini susah ditradisikan. Cucuran keringat, akan menjadi senyuman, tatkala tulisannya disukai dan menginspirasi banyak orang. Semua kelelahan, serasa terbayarkan, ketika mendapatkan selembar uang untuk menyambung kehidupan.
Menulis itu Menyebalkan, siapa tahan bermenit-menit berhadapan dengan deretan huruf, memaksa untuk segera dituliskan. Terlebih, saat tiba-tiba saja tak ada ide berseliweran untuk segera diungkapkan. Sama menyebalkan, seperti mengantri tiket kereta lebaran, saat jatuh pada giliran, petugas loket dengan enteng menjawab “maaf tiket lebaran sudah habis terjual”. Sebal dan Kesal pasti, penulis itu memang dituntut untuk ekstra sabar, baik untuk menanti tulisan mendapatkan kepastian terbitnya, ataupun tulisan mendapatkan tempat di hati semua orang.
Menulis itu Menentramkan, tentu tak semua orang setuju, tapi bagi penulis itu memang kenyataan. Banyak penulis, mengeluarkan seluruh emosi nya melalui tulisan. Bahkan, ada beberapa penulis yang seringkali mensuarakan pesan-pesan lewat karya tulisan. Tulisan menjadi senjata andalan, bagi mereka yang tidak pernah bisa menyerukan lewat ucapan. Tulisan akan abadi, sama abadinya dengan kehidupan di akhirat nanti. Maka menulislah walau hanya satu kata.
Be the first to comment