
Oleh : M. Arfan Mu’ammar
Menjelang Ujian Nasional, seringkali para orang tua dan siswa berburu soal dan jawaban. Entah bagaimana caranya, yang jelas mereka (siswa dan orang tua) rela merogoh kocek yang tidak sedikit demi mendapatkannya. Karena kondisi yang demikian, maka tidak heran jika H-1 soal Ujian Nasional harus mendekam di polsek setempat demi keamanan.
Bayangkan, soal ujian saja harus dikawal sebegitu ketat. Pertanyaannya adalah : sudah tidak adakah orang yang jujur di Indonesia ini?
Ujian Nasional memang menyisakan banyak problem. Problem yang cukup serius adalah tergadainya integritas demi mengejar sebuah standar. Bagaimana tidak, sekolah serba salah ketika “membiarkan” siswanya begitu saja. Taruhannya adalah nama baik sekolah. Sekolah akan merasa minder dan tidak berdaya jual tinggi, ketika hasil Ujian Nasional di bawa standar. Karenanya segala macam cara dilakukan demi memenuhi standar tersebut.
Kabar burung yang mengatakan bahwa guru ikut membantu siswa menjawab soal Ujian Nasional adalah betul adanya. Bagaimana caranya?. Pernah saya mendapatkan penuturan dari salah satu guru Sekolah Menengah Atas Negeri di sebuah daerah di Jawa Timur.
Guru mengerjakan soal di tempat lain. Siswa mengerjakan di kelas. Guru lebih dahulu mengerjakan soal, karena guru mendapatkan soal lebih awal dari siswa. Dengan asumsi bahwa guru akan lebih cepat selesai. Setelah soal selesai dikerjakan. Tugas selanjutnya adalah mengatur bagaimana jawaban tersebut terdistribusi dengan baik dan cepat ke siswa.
Saya juga sempat mikir bagaimana ya caranya? Padahal yang menjaga ujian bukan guru setempat, akan tetapi guru dari sekolah lain bahkan ada pengawasan dari dinas terkait.
Rupanya ada kode-kode tertentu yang sudah disepakati antara guru dan siswa sebelum berjalannya Ujian Nasional. Salah satu dari mahasiswa keluar kelas dengan alasan ke kamar mandi. Instruksi keluar kelas bisa menggunakan kode atau menggunakan waktu. Misalkan disepakati setelah 15 menit ujian berjalan salah satu siswa harus keluar kelas.
Sesampainya di kamar mandi, siswa mengambil jawaban di sebuah tempat tersembunyi yang sudah disepakati bersama. Tidak ada pertemuan langsung guru dan murid. Guru menaruhnya sebelum siswa keluar, sesuai dengan kesepakatan waktu.
Pertanyaan berikutnya adalah, bagaimana jawaban yang sudah ada di tangan satu siswa tadi dapat terdistribusi keseluruh siswa?
Sampai di sini guru tersebut diam. Tidak lagi mau menjelaskan secara terperinci. Yang jelas, kunci jawaban dapat terdistribusi dengan baik dan rapi ke seluruh siswa. Ini adalah salah satu cara diantara banyak cara yang ada.
Inilah kenapa di awal tulisan, saya sebut ada tiga bahaya yang tersirat dari standarisasi, diantaranya adalah “kerusakan ideologis”. Pendidikan yang semestinya menghasilkan siswa yang terpelajar, bermoral, jujur dan bertanggung jawab. Menjadi begitu saja rusak karena mengejar standarisasi. Tak diragukan. Bahwa Standaritas mengabaikan Integritas.
Masih perlukah standarisasi?
Bersambung…
Be the first to comment