
Oleh : M. Arfan Mu’ammar
Persoalan integritas menjadi persoalan serius dalam Ujian Nasional. Karenanya Menteri Pendidikan Nasional Anis Baswedan tatkala itu mengusulkan aspek integritas menjadi salah satu penilaian. Sekolah tertentu yang memiliki nilai Ujian Nasional yang tinggi tidak dapat begitu saja berbangga diri jika nilai integritas rendah. Begitu juga dengan sekolah yang tidak dapat meraih nilai ujian tertinggi, tidak boleh terburu-buru berkecil hati, karena bisa jadi secara integritas dapat nilai yang diharapkan.
Bagaimana mengukurnya?.
Jawaban Ujian Nasional dianalisis. Apakah jawaban Ujian Nasional itu terpola atau tidak terpola. Setelah diketahui terpola atau tidak terpola, maka kemudian dapat ditentukan apakah siswa menjawab sendiri-sendiri atau jawabnya bersama-sama.
Bagaimana mengetahui apakah jawaban tersebut terpola atau tidak terpola?
Jenis soal dari Ujian Nasional saat ini adalah Multiple Choice. Kalau satu ruangan jawabannya sama. Salahnya sama. Benarnya sama. Duduknya bersebelahan. Akan langsung ketahuan. Dan nomornya akan diketahui, siapa duduk di samping siapa. Satu kelas nomornya berapa, semua ada datanya, tinggal dianalisis. Sehingga, kemiripan salah dan benar antarsiswa dalam satu sekolah bisa menjadi ukuran apakah siswa-siswa tersebut mencontek atau tidak. Jadi Mendiknas memiliki ukuran dalam satu sekolah berapa persen anak yang punya jawaban sama, salahnya sama, benarnya sama, di nomor yang sama.
Sejak IIUN (Indeks Integritas Ujian Nasional) menjadi salah satu penilaian dalam UN. Sekolah berfikir ulang untuk tidak hanya mengejar nilai UN yang tinggi. Praktek penghalalan cara untuk mengejar nilai UN pun dipertimbangkan ulang. Karena jawaban yang disediakan sekolah bagaimanapun akan terendus. Jika sama-sama menjawab benar tidak masalah. Tapi jika sama-sama menjawab salah dan berulang kali di banyak nomor, apalagi duduk bersebelahan. Sudah dapat dipastikan bahwa siswa tersebut mencontek.
Kemendiknas merilis bahwa terjadi penurunan signifikan sekolah-sekolah yang sebelumnya menempati kuadran 4, yakni nilai UN tinggi, namun IIUN rendah. Bila pada pelaksanaan UN tahun 2015 sekolah SMA yang masuk di kuadran 4 sebanyak 56,6% (7.041 sekolah), maka pada UN 2016 turun signifikan menjadi 41,7% (4.880 sekolah).
Sedangkan sekolah-sekolah di kuadran 2, yakni yang nilai UN rendah, namun IIUN tinggi meningkat dari UN 2015 sebanyak 7,5% (935 sekolah) menjadi 8,3% (973 sekolah) pada UN 2016, “Ini mengindikasikan bahwa praktik kecurangan UN yang sistemik di sekolah-sekolah menurun secara signifikan”.
Walaupun Ujian Nasional bukan lagi menjadi syarat kelulusan, namun kecurangan tidak sepenuhnya dapat hilang. Karena siswa dan sekolah masih khawatir. Disebabkan nilai Ujian Nasional menjadi pertimbangan seleksi untuk masuk perguruan tinggi negeri (PTN). Dampaknya, siswa dari sekolah yang memiliki indeks integritas rendah seringkali ditolak perguruan tinggi negeri.
Usulan Prof. Muhadjir Effendi untuk memoratorium dan menghapus Ujian Nasional tampaknya tidak mendapat respon positif dari Presiden dan Wakil Presiden. Jika memang standarisasi dibutuhkan di negara Indonesia dengan tujuan agar tidak tertinggal dan dapat bersaing secara global. Tentunya upaya standarisasi tidak boleh mengabaikan aspek-aspek yang menjadi ideologi dasar dari tujuan pendidikan itu sendiri. Selama masih mengikis aspek ideologis dari tujuan utama pendidikan, maka standarisasi perlu ditinjau ulang pelaksanaannya.
Be the first to comment